Kamis, 08 Januari 2009

FOTO SEMENTARA

INSTRUCTIONAL TECHNOLOGY

Instructional Technology is the theory and practice of design, development, utilization, management, and evaluation of processes and resources for learning, according to the Association for Educational Communications and Technology (AECT) Definitions and Terminology Committee. Instructional technology is often referred to as a part of educational technology. While instructional technology covers the processes and systems of learning and instruction, educational technology includes other systems used in the process of developing human capability.

The first use of instructional technology cannot be attributed to a specific person or time. Many histories of instructional technology start in the early 1900s, while others go back to the 1600s. This depends on the definition of instructional technology. Definitions that focus on a systems approach tend to reach further back in history, while those definitions focused on sensory devices are relatively more recent.

The use of audio and visual instruction was boosted as a military response to the problems of a labor shortage during WWII in the United States. There was a definitive need to fill the factories with skilled labor. Instructional technology provided a methodology for training in a systematic and efficient manner.

With it came the use of highly structured manuals, instructional films, and standardized tests. Thomas Edison saw the value of instructional technology in films but did not formalize the science of instruction as the US military did so well. Instructional technology is a growing field of study which uses technology as a means to solve educational challenges, both in the classroom and in distance learning environments.

While instructional technology promises solutions to many educational problems, resistance from faculty and administrators to the use of technology in the classroom is not unusual. This reaction can arise from the belief - or fear - that the ultimate aim of instructional technology is to reduce or even remove the human element of instruction. However, most instructional technologists would counter that education will always require human intervention from instructors or facilitators.

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

Pendidikan, Teknologi Instruksional adalah teori dan praktek desain, pengembangan, penggunaan, manajemen, dan evaluasi proses dan sumber daya untuk belajar, sesuai dengan Asosiasi untuk Komunikasi dan Teknologi Pendidikan (AECT) Definisi dan Terminologi Komite. Teknologi Instruksional sering disebut sebagai bagian dari pendidikan teknologi. While instructional technology covers the processes and systems of learning and instruction, educational technology includes other systems used in the process of developing human capability. Sedangkan instruksional teknologi meliputi sistem dan proses pembelajaran dan pengajaran, teknologi pendidikan mencakup sistem lain yang digunakan dalam proses mengembangkan kemampuan manusia. Sejarah

The first use of instructional technology cannot be attributed to a specific person or time. Pertama penggunaan teknologi instruksional tidak dapat dikaitkan dengan orang tertentu atau waktu. Many histories of instructional technology start in the early 1900s, while others go back to the 1600s. Banyak dari sejarah instruksional teknologi mulai pada awal 1900-an, sedangkan yang lain kembali ke 1600s. This depends on the definition of instructional technology . Hal ini tergantung pada definisi teknologi instruksional. Definitions that focus on a systems approach tend to reach further back in history, while those definitions focused on sensory devices are relatively more recent. Definisi yang fokus pada sistem pendekatan lebih cenderung mencapai kembali dalam sejarah, sedangkan definisi berfokus pada perangkat indrawi relatif lebih baru.

The use of audio and visual instruction was boosted as a military response to the problems of a labor shortage during WWII in the United States . Penggunaan audio visual dan instruksi yang di dukung militer sebagai respon terhadap masalah kekurangan tenaga kerja yang selama WWII di Amerika Serikat. There was a definitive need to fill the factories with skilled labor. Terjadi definitif perlu mengisi pabrik dengan tenaga kerja terampil. Instructional technology provided a methodology for training in a systematic and efficient manner. Instruksional teknologi untuk menyediakan metodologi pelatihan yang sistematis dan efisien.

With it came the use of highly structured manuals, instructional films, and standardized tests . Thomas Edison saw the value of instructional technology in films but did not formalize the science of instruction as the US military did so well. Dengan datangnya penggunaan sangat terstruktur manuals, film instruksional, dan tes standar. Thomas Edison melihat nilai instruksional teknologi dalam film tetapi tidak merumuskan ilmu instruksi sebagai militer AS yang melakukannya dengan baik.

Instructional technology is a growing field of study which uses technology as a means to solve educational challenges, both in the classroom and in distance learning environments. Instruksional adalah teknologi yang berkembang bidang studi yang menggunakan teknologi sebagai alat untuk memecahkan tantangan pendidikan, baik di dalam kelas dan di lingkungan pembelajaran jarak jauh.

While instructional technology promises solutions to many educational problems, resistance from faculty and administrators to the use of technology in the classroom is not unusual. Sedangkan teknologi instruksional menjanjikan banyak solusi untuk masalah pendidikan, perlawanan dari fakultas dan administrator untuk penggunaan teknologi di kelas tidak biasa. This reaction can arise from the belief - or fear - that the ultimate aim of instructional technology is to reduce or even remove the human element of instruction. Reaksi ini dapat timbul dari kepercayaan - atau kekhawatiran - bahwa segala tujuan instruksional teknologi adalah untuk mengurangi atau bahkan menghapus elemen instruksi manusia. However, most instructional technologists would counter that education will always require human intervention from instructors or facilitators. Namun, sebagian besar akan instruksional technologists counter bahwa pendidikan akan selalu memerlukan campur tangan manusia dari instruktur atau fasilitator.

Dari Wikipedia.Com.

MAKALAH FILSAFAT ILMU

EPISTEMOLOGI;
METODE ILMIAH DAN STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH

Oleh : Husnil Kirom

A. Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, diharapkan dapat memahami alam sekitarnya. Dalam hal ini dikarenakan manusia mampu menciptakan pengetahuan baru berupa ilmu. Pada tahap penciptaan ilmu telah terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan dalam hal ini sebagai hasil tahu manusia, kemudian munculnya sebuah ilmu dan bermuara pada filsafat.

Pengetahuan atau knowledge adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa alam, apa air, apa manusia, dan lain sebagainya. Sementara, ilmu atau science bukan sekedar menjawab what melainkan akan menjawab pertanyaan why dan how, misalnya mengapa bumi berputar, mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa manusia dapat bernapas, dan lain sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab apa sesuatu itu, tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi. Inilah yang menjadi letak perbedaaan antara pengetahuan dan ilmu.

Pada hakekatnya pengetahuan merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Sementara, ilmu merupakan bagian yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Oleh karena pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi pertanyaan yang muncul dalam kehidupan, maka jawaban dari setiap pertanyaan tersebut haruslah benar. Tidak bisa dibayangkan kalau kehidupan ini tanpa pengetahuan. Sehingga untuk menemukan jawaban dari masing-masing pertanyaan perlu diketahui mengenai bagaimana menyusun pengetahuan yang benar.[1] Manusia juga haruslah dapat membedakan antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan yang lain agar tahu penggunaan dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, manusia harus mampu memperbarui pengetahuan sesuai perkembangan zaman.

Perbedaan jenis pengetahuan yang satu dengan pengetahuan yang lain akan dapat diketahui dengan diajukan pertanyaan berupa apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (berkenaan dengan ontologi)? bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (berkenaan dengan epistemologi)? serta untuk apa pengetahuan termaksud digunakan (berkenaan dengan aksiologi)?. Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut, maka dapat dengan mudah membedakan berbagai jenis pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama.[2]

Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu karena cara mendapatkan ilmu dari sebuah pengetahuan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat terpenuhinya pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu tercantum dalam metode ilmiah yang digunakan. Menurut Senn dalam Suriasumantri (1990:119) menyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Dalam metode ilmiah terdapat metodologi yang digunakan sebagai pengkajian dari peraturan-peraturan ilmiah.[3] Secara filsafati metodologi termasuk ke dalam epistemologi yang merupakan pembahasan tentang bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Dari metode ilmiah ini akan didapat sebuah pengetahuan baru atau ilmu melalui penelitian yang dilakukan.

Adapun dari ketiga aspek yang akan diajukan pertanyaan pada pengetahuan tersebut di atas, maka yang akan dibahas dalam makalah ini hanya difokuskan pada epistemologi sebagai suatu pengetahuan yakni epistemologi; metode ilmiah dan struktur pengetahuan ilmiah.

Dalam membahas epistemologi suatu pengetahuan tidak akan terlepas dari bagaimana epistemologi prosedurnya yang digunakan dalam mendapatkan sebuah pengetahuan itu melalui sebuah metode ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses atau metode ilmiah merupakan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Hal ini juga menjadi pokok bahasan pada makalah ini, khususnya pengertian dari metode ilmiah, macam-macam metode ilmiah dan fungsi dari metode ilmiah.

Lebih lanjut, makalah ini juga akan membahas mengenai epistemologi; struktur pengetahuan ilmiah yang membicarakan cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun dengan bersistem dan kompleks sehingga terciptalah sebuah ilmu. Struktur pengetahuan ilmiah ini menggambarkan skema alur terbentuknya sebuah ilmu dari pengetahuan yang sudah ada. Untuk lebih jelasnya mengenai epistemologi; metode ilmiah dan struktur pengetahuan ilmiah akan diuraikan pada bahasan berikutnya.

B. Epistemologi; Metode Ilmiah dan Struktur Pengetahuan Ilmiah

Sebelum membahas mengenai epistemologi; metode ilmiah dan struktur pengetahuan ilmiah terlebih dahulu akan diuraikan kembali mengenai epistemologi sebagai suatu pengetahuan.

2.1. Epistemologi; Pengetahuan

Epistemologi diartikan sebagai cabang dari filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.4 Dari epistemologi ini akan muncul sebuah pengetahuan. Secara istilah pengetahuan berasal dari bahasa Inggris yaitu knowledge. Sementara dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar atau knowledge is justified true belief.5 Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan merupakan proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Lebih lanjut, menurut Gazalba dalam Amsal (2005:85) pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Jadi, dengan kata lain pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.

4Suriasumantri, 1990, hal.119.

5Amsal, 2005, hal.83.

Untuk memperjelas pemahaman akan pengetahuan dapat dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu pengetahuan pra-ilmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah dan pengetahuan ilmiah ialah pengetahuan yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah. Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah harus memiliki objek tertentu (formal dan material) dan harus bersistem (harus runtut). Disamping itu pengetahuan ilmiah harus memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang umum. Metode itu meliputi metode deduksi, metode induksi dan metode analisis.

Selanjutnya, ilmu berasal dari bahasa Arab “alima” sama dengan kata dalam bahasa Inggris “science” yang berasal dari bahasa Latin “scio” atau “scire”, sedangkan dalam bahasa Indonesia menjadi sains atau ilmu.6[4] Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada di luar pengalaman kita.

Pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja maka dari sini timbul pertanyaan mengenai bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?. Secara filsafat masalah ini termasuk dalam epistemologi dan landasan epistemologi disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah merupakan cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar, sedangkan dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?

Setiap pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu berkaitan dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Dalam artian, pembahasan mengenai epistemologi ilmu senantiasa terkait dengan ontologi ilmu dan aksiogi ilmu.

Persoalan utama yang dihadapi landasan epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aspek aksiologi masing-masing. Demikian juga dengan epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Untuk mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka perlu diketahui mengapa sesuatu itu terjadi. Agar bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu harus dikuasai. Dengan demikian penelaahan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Penjelasan yang dituju oleh penelaahan ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme terjadinya gejala itu.

Ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Model tersebut digunakan untuk meramal gejala alam. Ilmu juga mencoba memberikan penjelasan mengenai mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Ilmu juga mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis karena jika ilmu terlepas dari keduanya maka pengetahuan yang didapat tidak berbeda jauh dari akal sehat yang lebih maju.

Menurut Russell dalam Suriasumantri (1990:134) mengemukakan ilmu mempunyai dua peranan satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik atau educated commen sense. Lalu, bagaimana cara mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut lahirlah pemikiran metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis di alam rasional dengan pembuktian dilakukan secara empiris.

Metode eksperimen dikembangkan pertama kali oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam. Ketika ilmu pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Dalam perjalanan sejarah, kekuatan dan cahaya dunia modern sekarang di bawa oleh orang muslim bukan oleh orang latin. Eksperimen ini dimulai ahli-ahli al-kimia yang memungkinkan pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat ajaib untuk tetap muda” (elixir vitae) dan “rumus membuat emas dari logam biasa”. Secara lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah.

Perkembangan metode eksperimen yang berasal dari timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.

Perkembangan logika ilmiah yang merupakan pertemuan antara rasionalisme dan epmirisme. Galilio (1564-1642) dan Newton (1642-1727) merupakan pioner yang mempergunakan gabungan berpikir deduktif dan induktif. Ini dalam penyelidikan ilmiah mereka. Penelitian Charles Darwin (1809-1882) yang membuahkan teori evolusinya juga mempergunakan metode ilmiah. Deskripsi secara mendalam tentang metode ilmiah ditulis oleh Carpiorson (1857-1936) dalam bukunya yang sekarang sudah menjadi klasik yang berjudul “The Grammer of Science”. Buku tersebut diterbitkan sekitar tahun 1890 yang disusul oleh buku John Dewey “How We Think” yang terbit pada tahun 1910. Secara filsafati John Dewey mengupas makna dan langkah-langkah dalam metode ilmiah.

Berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuwan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Dirintis oleh Copernicus (1473-1543) Keppler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton (1642-1727) ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal landas. Whitched menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Helmholtz, Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.

Gejala ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode-metode berpikir ilmiah yang ada dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat, meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya, maka kita masih memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan, sebab ilmu hakikinya adalah terbatas dan tidak lengkap.

2.2. Epistemologi; Metode Ilmiah

2.2.1. Gambaran umum metode ilmiah

Dalam metode ilmiah terdapat metodologi yang merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode ilmiah. Secara filsafati metodologi termasuk ke dalam epistemologi yang merupakan pembahasan bagaimana kita mendapatkan pengetahuan. Pada epistemologi, pertanyaan yang membantu manusia untuk mendapatkan suatu pengetahuan adalah apakah sumber-sumber pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? apakah manusia dimungkinkan mendapatkan pengetahuan? sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin ditangkap manusia?

Pengetahuan merupakan sumber jawaban berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.8 [5]Oleh karena itu, pengetahuan dihasilkan dari proses berpikir yang merupakan kegiatan mental manusia dan metode ilmiah merupakan ekspresi dari cara berpikir tersebut. Melalui metode ilmiah pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik yang sesuai dengan macam sumber dan cara pengetahuan tersebut didapatkan.9 [6]

2.2.2. Pengertian metode ilmiah

Di bawah ini beberapa pengertian mengenai metode ilmiah dari para ahli filsafat, sebagai berikut:

(1) Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM (2003:134) yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan menjadi sebuah ilmu.

(2) Menurut Senn dalam Suriasumantri (1987:119) menyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

(3) Van Peursen dalam Suariasumanti (1990:122) membagi tiga tahap perkembangan kebudayaan yang dilihat dari sikap manusia dalam menghadapi masalah yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.

Penjelasan dari pendapat Van Peursen, tahap mistis merupakan tahap dimana manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghaib yang ada di sekitarnya sedangkan tahap ontologis sikap manusia tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghaib tapi manusia telah bersikap mengambil jarak dari obyek di sekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap obyek tersebut.

Tahap fungsional adalah sikap manusia yang manusia bukan saja merasa terbebas dari kepungan kekuatan ghaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di sekitar kehidupannya namun pada tahap ini manusia telah memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya. Belum tentu pengetahuan yang didapatkan pada tahap ontologis telah mengambil jarak terhadap obyek di sekitar kehidupan dan mulai menelaahnya mempunyai manfaat langsung terhadap kehidupan manusia. Bisa saja manusia menguasai pengetahuan dan tidak mempunyai kegunaan fungsional dalam kehidupannya. Oleh karena itu perlu dibedakannya antara tahap ontologis dan tahap fungsional.

2.2.3. Posisi metode ilmiah dalam ilmu

Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis, di mana manusia memiliki pendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis yang menguasai gelaja-gejala empiris. Pada tahap ini manusia mulai mengambil jarak dari obyek yang berada dalam kesemestaan bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya. Selanjutnya, dalam tahapan ini juga manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah, yang memungkinkan dapat dikenal ujudnya oleh manusia, kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.

Ilmu berbeda dengan agama. Secara ontologis ilmu membatasi permasalahan yang dihadapinya untuk ditelaah hanya pada ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia sedangkan agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman manusia baik sebelum manusia berada di muka bumi msupun sesudah kematian manusia. Perbedaan ruang lingkup permasalahan yang dihadapi menyebabkan berbeda pula metode dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam usaha memecahkan permasalahan yang dihadapi ilmu berpaling pada pikiran yang didasarkan pada penalaran dan tidak berpaling pada perasaan. Oleh karena itu, ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakikat permasalahan itu sehingga permasalahan tersebut dapat dipecahkan.

Agar kita dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya maka kita harus menguasai hakikat imu dan agama secara baik. Ilmu dan agama saling melengkapi, pada satu pihak agama memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan sedangkan dipihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama.10 [7]

Masalah yang dihadapi ilmu adalah nyata sehingga mencari jawabannya pun pada dunia yang nyata. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun teori juga teori yang menjembatani antara keduanya.11[8] Teori yang dimaksudkan adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam duina fisik tersebut. Pada hakikatnya teori merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Sehingga Suriasumantri (1987:123) berpendapat bahwa teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuian dengan obyek yang dijelaskannya dan biar bagaimapun juga tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

Pendekatan rasional di atas digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah metode ilmiah. Melalui pendekatan rasional imu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang bersifat fakta dengan yang tidak. Sehingga secara sederhana menurut Suriasumantri (1990:124) semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama antara lain:

1). harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan

2). harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

Jadi, logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Secara teoritis, seseorang dapat mengajukan sebanyak-banyaknya hipotesis atau jawaban sementara untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Namun, dari sekian banyak hipotesis yang diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi yakni hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris.

Hipotesis disusun secara deduktif dan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui ilmunya. Penyusunan tersebut memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan efek kumulatif dalam kemajuan ilmu. Menurut Suriasumantri (1990:125) jika dikaji secara mendalam maka kemajuan ilmu sebenarnya dilakukan oleh manusia biasa yang selangkah demi selangkah menyusun tumpukan-tumpukan ilmu berdasarkan ilmu penemuan sebelumnya bukan dilakukan oleh sekelompok jenius dengan buah pikirannya yang monumental. Sifat inilah yang memungkinkan ilmu berkembang secara relatif lebih pesat dibandingkan dengan pengetahuan lainnya misal filsafat.

2.2.4. Alur tahapan dalam metode ilmiah

Dalam pengkajian filsafat seorang filsuf selalu mulai dari bawah dalam menyusun sistem pemikirannya dan membangun sistem tersebut secara keseluruhan lengkap dengan bangunan dan isinya. Sedangkan dalam kegiatan ilmiah, maka tiap ilmuwan menyumbangkan bagian kecil dari sistem keilmuan scera keseluruhan karena sifatnya kumulatif maka ilmu berkembang dengan sangat pesat.

Penyusunan hipotesis yang merupakan jembatan antara pemecahan masalah yang dihadapi dengan penemuan jawaban terhadap masalah tersebut menyebabkan metode ilmiah sering dikenal dengan proses logico-hypothetico-verifikasi atau menurut Tyndall dikenal sebagai “perkawinan hubungan antara deduksi dan induksi”.12[9]Proses induksi memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis dengan dikumpulkannya fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak.

Pada dasarnya proses berfikirnya adalah deduktif, namun kegiatannya tidak terlepas dari proses induktif. Penyusunan hipotesis dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan yang akan mempengaruhi proses berpikir deduktif. Karena, kegiatan tersebut mendekatkan hipotesis yang disusun dengan dunia fisik maka secara teoritis memberikan peluang yang besar bahwa hipotesis dapat diterima.

Setelah penyusunan hipotesis dilakukan langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering kali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Proses pengujian tersebut merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat ditangkap secara langsung dengan pancaindera kita dan ada juga memerlukan instrumen yang membantu pancaindera kita umpamanyateleskop dan mikroskop.13 [10]

Selanjutnya, uraian mengenai alur berpikir dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

SKEMA 1

ALUR TAHAPAN METODE ILMIAH




Sebagai keterangan dari alur proses metode ilmiah atau kerangka ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi di atas terdiri dari langkah-langkah berikut:

1). Perumusan masalah

Merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasannya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.

2). Penyusunan kerangka berpikir

Dalam pengujian hipotesis; merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.

3). Perumusan hipotesis

Merupakan jawaban sementrara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.

4). Pengujian hipotesis

Merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis dan diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis atau tidak.

5). Penarikan kesimpulan

Merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya jika fakta yang mendukung pengujian hipotesis tidak cukup maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis diterima d bagian dari pengetahuan ilmiah, karena telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.14 [11]

Agar penelaahan dapat disebut ilmiah, maka keseluruhan langkah di atas harus ditempuh. Meskipun secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu menjadi landasan bagi langkah selanjutnya namun dalam prakteknya sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lain tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Dengan jalan ini diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.15 [12]

Metode ilmiah penting, bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Menurut Jacob Bronowski, hakikat metode ilmiah bersifat sistematik dan eksplisit.16 [13]Sifat eksplisit memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual dan dimanfaatkan secara sosial. Ilmu merupakan pengetahuan milik umum (public knowledge) di mana teori ilmiah yang ditemukan secara individual, diulangi, dan dimanfaatkan secara komunal. Karakteristik tersebut mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi eksplisit antar-ilmuwan secara intensif.

Suriasumantri menyimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Proses pembuktian ilmu tidaklah bersifat absolut. Pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta yang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis ilmu. Ilmu tidak mencari kebenaran absolut melainkan mencari kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan ilmu tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi kehidupan kita, dianggap sebagai pengetahuan yang shahih dalam keluarga keilmuan.[14]

2.2.5. Macam-macam metode ilmiah

Metode ilmiah pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila terdapat kedua perbedaan pada kedua ilmu ini maka perbedaan tersebut hanya pada aspek-aspek tekniknya saja dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya.[15]

Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk ke dalam kelompok ilmu. Matematika dan bahasa tidak mempergunakan metode ilmiah dalam menyusun pengetahuannyasebab matematika bukanlah ilmu melainkan pengetahuan yang merupakan sarana berpikir ilmiah. Demikian juga sastra yang termasuk kepada humaniora tidak mempergunakan metode ilmiah. Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya misalnya pengajaran bahasa, sastra dan matematika.[16]

Adapun macam-macam metode ilmiah terbagi menjadi dua, yaitu :

1) Metode Siklus-Empirik

(1) Metode ini digunakan untuk ilmu yang disebut Naturwissenschaften atau ilmu-ilmu kealaman.

(2) Metode siklus-empirik menunjukkan pada dua hal pokok yaitu siklus mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dan siklus empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki.

(3) Metode siklus-empirik ini mencakup lima tahapan yakni observasi (berbuat lebih dari sekedar melakukan pengamatan biasa), induksi (dipermudah dengan menggunakan alat bantu matematik dalam merumuskan serta mengumpulkan data empirik), deduksi (data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut), eksperimen (pernyataan yang telah dijabarkan diuji dengan verifikasi atau klasifikasi secara rasional), dan evaluasi (dilakukan evaluasi dari semua tahapan).

2) Metode Linier

(1) Metode ini digunakan untuk ilmu yang disebut Geiteswissenschaften atau ilmu-ilmu budaya atau Behavioral Science dan ilmu-ilmu sosial humanistik.

(2) Metode linier mencakup tiga tahapan yakni persepsi (penangkapan data melalui indra), konsepsi (pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu sistem), dan prediksi (penyimpulan sekaligus peramalan).

Berdasarkan hubungan objek dan metode masing-masing, maka untuk memahami metode yang seharusnya dipergunakan dalam ilmu-ilmu tipe tertentu harus dipahami ciri-ciri mendasar yang berlaku dalam objek ilmu-ilmu tersebut. Ciri dasar dari ilmu-ilmu kealaman adalah melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang memungkinkan regristrasi indrawi secara langsung dalam wujud eksperimen, dan ada sesuatu determinisme dalam objeknya yang menimbulkan reaksi tertentu. Sementara, ciri dasar dari ilmu-ilmu sosial humanistik adalah bersangkutan dengan aspek-aspek tingkah laku manusiawi, normatif-teleologis, dan menentukan arti, nilai, dan tujuan.

Penelitian yang merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya memiliki metodologi tersendiri. Metodologi penelitian ilmiah dan hakikatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan atau dengan perkataan lain, struktur berpikir yang melatarbelakangi langkah-langkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.

Melalui metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya. Komunikasi yang menunjang intensitas dan efektivitas komunikasi tersebut digunakan komunikasi tertulis dalam bentuk majalah, buletin, jurnal, mikro film dan berbagai media massa lainnya.

Sampai pertengahan abad ketujuh belas komunikasi antar ilmuwan dilakukan secara korespondensi pribadi serta publikasi makalah atau pamflet sewaktu-waktu. Pada tahun 1654 The Roral Society didirikan di London yang disusul oleh Academic Francaise yang didirikan di Paris pada tahun 1663. Laporan pertemuan ilmiah dari The Roral Society muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1664 setelah ini komunikasi dan kerja sama antar ilmuwan dalam bentuk kelembagaan, himpunan dan penerbitan jurnal berkembang dengan pesat.20 [17]

Berbagai percobaan ilmiah dapat diulang oleh ilmuwan lainnya yang berhasrat, dan sekiranya dalam pengulangan tersebut didapatkan hasil yang sama, serta merta ilmuwan itu akan menerima dan mendukung kebenaran yang dimaksud. Akhirnya seluruh kalangan keilmuan akan menerima kebenaran ilmiah itu dengan demikian dunia keilmuan menganggap semua permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh seluruh ilmuwan. Dengan demikian ilmu berkembang dengan cepat dalam dinamika yang dipercepat karena penemuan yang satu akan menyebabkan penemuan yang lainnya.

Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan kepada penemuan-penemuan sebelumnya. Namun, hal ini tidak seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satu pun dari seluruh disiplin keilmuan yang berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidang keilmuan yang relatif maju, satu teori yang mencakup segenap dunia fisik kita belum dapat dirumuskan.

Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dalam jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula di masa yang akan datang. Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah di masa yang lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan. Walaupun demikian, ilmu dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu.

2.2.6. Fungsi metode ilmiah

Gazalba dalam Amsal (2005:78) menggambarkan “ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, pelukisan secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa, melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian”.

Berikutnya adalah ilmu atau pengetahuan ilmiah mempunyai beberapa fungsi, sebagai berikut:

1) Menjelaskan

Ilmu dapat menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

2) Meramal

Ilmu dapat memprediksi hal-hal apa yang akan terjadi dan menyiapkan antisipasi.

3) Mengontrol

Ilmu senantiasa mengontrol perkembangan dan kemajuan zaman.

Berdasarkan uraian tersebut, sebagai contoh dari fungsi pengetahuan ilmiah tentang keterkaitan antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang sampai tidak tumbuh lagi. Sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan oleh penjelasan tadi, maka kita harus melakukan kontrol agar hutan tidak dibiarkan menjadi gundul. Dari ramalan tersebut, kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.Demikian juga, jika kita mengetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang sekiranya ada pengawasan, maka untuk mencegah banjir kita harus melakukan kontrol agar kegiatan pengawasan dilakukan, agar dengan demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan tidak mengakibatkan banjir.

Ada empat jenis pola penjelasan dalam metode ilmiah, yaitu:

1) Deduktif

Mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya.

2) Probabilitas

Merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberi kepastian dimana penjelasan bersifat peluang seperti “kemungkinan”, “kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”.

3) Fungsional/Teleologis

Merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan mempunyai karakteristik dan pekembangan tertentu.

4) Genetik

Mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dengan menjelaskan gejala yang muncul kemudian.

2.3. Epistemologi; Struktur Pengetahuan Ilmiah

2.3.1. Gambaran umum struktur pengetahuan ilmiah

Sebelum membahas skema struktur pengetahuan ilmiah, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian dari struktur. Pengertian struktur adalah cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun, susunan, bangunan (KBBI, 2004:1425). Sementara menurut Senn dalam Suriasumantri (1990:128) meskipun tidak secara gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu memiliki bangun struktur.

Ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan menurut kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda-beda meresap sampai dasar ilmu.

Istilah pada ilmu pasti yang lama masih merujuk pada sesuatu seperti ruang (ruang fisis), garis lurus (garis lurus lintasan sinar cahaya dalam hampa udara), sekarang lebih baik diganti dengan lambang tanpa arti seperti X maupun Y. Perkataan tertentu biasa disebut aksioma yang sebetulnya merupakan semacam definisi mengenai istilah-istilah itu, memberikan petunjuk bagaimana pengertian dasar ini dapat dipergunakan.

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan atau yang disebut sebagai ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, dan dari karakteristik inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin. Kemudian, disiplin ini memungkinkan ilmu berkembang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu diibaratkan sebagai piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif dimana penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.

Sebuah hipotesis yang teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru memperkaya khasanah ilmu yang telah ada. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang bersifat korektif memungkinkan upaya keilmuan menemukan kesalahan yang mungkin diperbuat. Apabila sebuah pengetahuan baru itu benar, maka akan diterima oleh orang banyak. Sebaliknya, jika pengetahuan baru tersebut salah, maka lambat laun akan diketahui dan diperbarui.

2.3.2. Hal-hal yang berkaitan dengan ilmu

Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit. Dimana para ilmuan memberikan sumbangsih pemikiran menurut kemampuan masing-masing. Lalu, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala itu berdasarkan penjelasan yang ada.

Sementara itu, teori diartikan sebagai pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin ilmu. Contohnya, dalam ilmu ekonomi dikenal teori ekonomi makro dan mikro, sedangkan dalam fisika dikenal dengan teori mekanika Newton dan teori relativitas. Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Dalam teoori ilmu ekonomi mikro umpamanya kita mengenal hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan naik maka harga akan naik pula. Namun, sebaliknya jika permintaan berkurang, maka harganya pun akan turun juga.

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan menjadi suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Misalnya : Teori ekonomi makro, teori ekonomi mikro, teori mekanika Newton, teori relativitas Einstein. Tujuan akhir disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten.

Hukum pada hakekatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Contohnya, teori ekonomi mikro terdiri dari hukum penawaran dan permintaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi, sedangkan hukum adalah memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi.

Dimana teori dan hukum merupakan “alat” kontrol gejala alam yang bersifat universal. Teori-teori yang tingkat keumumannya rendah disatukan menjadi satu teori yang mampu mengikat keseluruhan teori-teori tersebut. Misalnya Teori yang dikemukakan oleh Ptolomeus, Copernicus, Johannes Keppler kemudian disatukan kedalam sebuah teori yang dikemukakan oleh Newton.

Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi atau secara ideal harus bersifat universal. Sekiranya hukum permintaan dan penawaran hanya berlaku buat padi dan terbatas di daerah Karawang saja, umpamanya pengetahuan semacam ini kurang fungsional sebagai teori ilmiah. Pertama, hal ini disebabkan karena berlaku untuk padi namun tidak untuk hamburger atau televisi yang kesmuanya merupakan benda ekonomi. Kedua, pernyataan itu hanya berlaku untuk daerah Karawang saja dan tidak berlaku untuk daerah lain. Pengetahuan tentang Goyang Karawang yang memang khas Karawang mungkin berguna dalam diskusi yang tidak bersifat ilmiah. Namun, pengetahuan ilmiah tentang pembentukan harga padi terbatas di daerah Karawang.

Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini, maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh dimana teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan teori-teori tersebut. misalnya, sejarah perkembangan Fisika umpamanya mengenal teori tentang “Gerak Jatuh Bebas” yang didemonstrasikan oleh Galileo Galilei dengan menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya dari menara Pisa Prancis. Sampai waktu itu orang masih percaya kepada teori Aristoteles yang menyatakan bahwa benda yang lebih berat akan jatuh ke tanah dengan lebih cepat. Akan tetapi tahun 1564-1642, Galileo dengan hasil demonstrasinya ini yang bersifat teatrik membenarkan teori lama dari Aristoteles.

Selain itu juga, Copernikus di tahun 1473-1543 mengembangkan teori baru bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya bumilah yang berputar mengelilingi matahari. Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama yang dikemukakan oleh Ptolemaus dari Alexandria yakni pusat dari jagat raya dengan palnet-planetnya yang berputar mengelilingi orbit-orbitnya yang berbentuk lingkaran. Selanjutnya, teori Copernikus disempurnakan ini oleh Johannes Kepler tahun 1571-1630. Lalu, Thyco Branhe di tahun 1546-1601 menyatakan pada tahun 1609 bahwa orbit planet-planet dalam mengelilingi matahari tidaklah berbentuk lingkaran seperti apa yang dipercayai sebelumnya akan tetapi berbentuk elips.

Berikutnya adalah prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi. Misalnya, hukum sebab akibat suatu gejala. Misalnya saja hukum sebab akibat sebuah gejala. Sebagai contoh prinsip ekonomi, prinsip kekekalan energi dan sebagainya.

Akhirnya, Newton (1642-1727) menerbitkan Philosophiae Naturalis Principia Mathematica yang mempersatukan teori Galileo, Kopernikus dan Keppler. Teorinya adalah bahwa semua gerak, baik yang terjadi di langit atau di bumi, tunduk kepada hukum-hukum yang sama. Dengan demikian, maka hukum Newton menggantikan semua hukum yang ada sebelumnya tadi.

Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut sebagai postulat yakni asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktian lagi. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja.

Apabila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya, maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi adalah haruslah merupakan pernyataan yang kebenarannya dapat teruji secara empiris. Contohnya, orang yang mengemudi di jalan raya di pagi hari, maka ia akan mengendarai mobil dengan kecepatan penuh karena suasananya masih sepi.

Sebuah teori yang berlaku di negara tertentu belum tentu cocok dengan negara lain, sekiranya asumsi tentang manusia dalam teori tersebut umpamanya tidak berlaku. Demikian juga dengan bermacam-macam teori lainnya yang tersedia dalam khasanah pengetahuan ilmiah. Kita harus memilih teori yang terbaik dari sejumlah teori-teori yang ada berdasarkan kecocokan asumsi yang dipergunakannya. Inilah sebabnya maka dalam pengkajian ilmiah seperti penelitian diituntut untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta dasar-dasar pikiran lainnya yang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasi.

Kehidupan manusia pada dasarnya berpangkal pada sifat dasar yang berhasrat dan ingin berbuat (to know and to do) dan pengetahuan teoretis akan memuaskan hasrat mengetahui, sedang pengetahuan praktis dapat memenuhi keinginan berbuat. Dengan demikian, dalam konsepsi kami ilmu akan dibedakan pertama-tama dalam dua ragam Ilmu teoritis (theoretical science) dan Ilmu praktis (practical science).

Pembedaan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan pengetahuan rasional menjadi tiga kelompok: pengetahuan teoretis (misalnya fisika), pengetahuan praktis (misalnya etika), dan pengetahuan produktif (misalnya retorika). Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap pembagian menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut jenisnya. Ini merupakan suatu pembagian ilmu yang memakai isi substansif itu dicerminkan oleh pokok soal atau objek material dari pengetahuan yang bersangkutan.

Oleh karena ditunjukan dan diketahui obyek material yang ditelaah menjadi pengetahuan itu, maka dalam pembagian jenis ilmu biasanya orang dapat serta merta mengetahui hal apa saja yang menjadi sasaran jenis-jenis ilmu yang dikemukakan, walaupun mungkin hanya dalam garis besarnya saja.

Penelitian murni atau penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini :Mekanika Mekanika Teknik, Hidrodinamika Teknik Aeronautikal /Teknik & Desain Kapal, Bunyi Teknik Akustik, Cahaya & Optik Teknik Iluminasi, Kelistrikan / Teknik Elektronik/ Magnestisme Teknik Kelistrikan, Fisika Nuklir Teknik Nuklir.

Cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).

Cabang utama ilmu-ilniu sosial yang lainnya mempunyai cabang-cabang lagi seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni, arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/kultural, semua itu kita golongkan ke dalam ilmu murni.

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.

Banyak sekali konsep ilmu-ilmu sosil “murni” dapat diterapkan langsung kepada kehidupan praktis, ekonomi umpamanya, meminjam perkataan Paul Samuelson, merupakan ilmu yang beruntung (Fortunate) karena dapat diterapkan langsung kepada kebijaksanaan umum (public policy).

Jadi, penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau penelitian dasar, sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan. Dengan menguasai pengetahuan ini, maka manusia mengembangkan teknologi atau peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan dalam kehidupannya.

2.3.2. Terbentuknya pengetahuan menjadi ilmu

Bebagai keterangan mengenai obyek sebenarnya itu dituangkan dalam pernyataan-pernyataan, petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan obyek sederhana itu. Memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomenon yang ditelaah. Dapat dibedakan menjadi tiga ragam proposisi yaitu:

a. Asas ilmiah

Suatu asas atau prinsip adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.

b. Kaidah ilmiah

Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya diantara fenomena.

c. Teori ilmiah

Suatu teori dalam scientific knowledge adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah fenomena.

Penerapan ilmu terhadap teknologi menurut Azyumardi Azra dalam Suriasumantri (2005:161) yaitu penerapan ilmu terhadap teknologi memang tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia, sebab disamping dapat dipergunakan untuk tujuan destruktif juga menimbulkan implikasi moral, sosial dan kultural. Manusia disebut homo faber (makhluk yang membuat peralatan) dan homo sapiens (makhluk yang berpikir).

Jadi, secara ringkas struktur pengetahuan ilmiah terdiri dari adanya pengetahuan secara umum, dilakukan metode ilmiah, muncul ilmu yang didasari oleh teori, hukum, prinsip, postulat, asumsi, diadakan penelitian baru atau penelitian lanjutan (penelitian pengembangan) akan muncul pengetahuan yang baru lagi yang disebut ilmu baru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema alur di berikut ini :

SKEMA 2

ALUR STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH




Flowchart: Alternate Process: I L M U




Sebagai penjelasan dari skema alur struktur pengetahuan ilmiah tersebut adalah adanya pengetahuan yang merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, sebagai sumber jawaban dari setiap pertanyaan yang dimunculkan oleh manusia dalam menghadapi gejala alam yang ada menimbulkan pertanyaan bagaimana pengetahuan itu disusun dengan benar. Pengetahuan ini tadi sebelum menjadi sebuah ilmu akan diujikan dengan sesuai syarat-syarat dari metode ilmiah. Apabila pengetahuan tersebut telah memenuhi persyaratan metode ilmiah, maka akan muncullah sebuah ilmu baru. Sebelum terbentuk menjadi sebuah ilmu terlebih dahulu didasari teori, hukum, prinsip, postulat, asumsi. Setelah itu diadakan penelitian baru atau penelitian lanjutan (penelitian pengembangan) yang akhirnya akan muncul pengetahuan yang baru lagi yang disebut ilmu baru. Demikian adanya ilmu baru sebagai pengetahuan yang benar dari struktur pengetahuan ilmiah.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan sendiri merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, sebagai sumber jawaban dari setiap pertanyaan yang dimunculkan oleh manusia dalam menghadapi gejala alam yang ada menimbulkan pertanyaan bagaimana pengetahuan itu disusun dengan benar, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Sementara, ilmu merupakan bagian yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Suatu pengetahuan dapat disebut ilmu jika ia memenuhi syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam metode ilmiah.

Selanjutnya, metode ilmiah merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Dalam metode ilmiah terdapat metodologi secara filsafati bagamana mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan epistemologi. Pengetahuan yang merupakan jawaban setiap pertanyaan yang dihadapi dalam kehidupan akan memecahkan permasalahannya yang bersifat nyata menggunakan akal pikiran. Untuk memecahkan permasalahan tersebut dimunculkan jawaban sementara dinamakan dengan hipotesis.

Penyusunan hipotesis dilakukan dmelalui pengamatan secara empiris dengan berpikir deduktif. Kemudian diadakan pengujian terhadap hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia nyata melalui pengumpulan fakta-fakta yang relevan. Setelah dilakukan pengujian hipotesis dapat diterima ataupun ditolak yang kemudian ditarik kesimpulan. Semuda kegiatan ilmiah tersebut disebut dengan logico-hypothetico-verifikasi.

Struktur ilmu dalam filsafat ilmu merupakan bagian penting dipelajari mengingat ilmu merupakan suatu bangunan yang tersusun, bersistem dan kompleks. Melalui ilmu kita dapat menjelaskan, meramal dan mengontrol setiap gejala-gejala alam yang terjadi.

Ilmu-ilmu murni berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan. Ilmu-ilmu terapan ini akan melahirkan teknologi atau peralatan-peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan dalam kehidupan.Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah melalui kegiatan ilmiah atau penelitian sehingga didapat suatu pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit. Pengetahuan ilmiah atau ilmu yang diperoleh tersebut dilandasi oleh teori, hukum, prinsip, postulat, asumsi dan argumentasi. Kemudian dari ilmu lama yang terbentuk diadakan penelitian lagi sehingga didapat pengetahuan baru.

Dengan mengetahui struktur dari ilmu ini maka dapat kita bedakan nantinya pemahaman dari sejauh mana kajian mengenai gejala-gejala alam. Bekal ini pula yang nantinya kita pergunakan dalam penelitian-penelitian yang akan kita lakukan. Tampaknya akal budi manusia tidak mungkin berhenti berpikir, hasrat mengetahui ilmuan tidak dapat padam, dan keinginan berbuat seseorang tidak bisa dihapuskan. Ini berarti perkembangbiakan pengetahuan ilmiah akan berjalan terus dan pembagian ilmu yang sistematis perlu dari waktu ke waktu diperbaharui.

Daftar Pustaka

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Press.

Beerling, Kwee dan Van Peursen. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Gazalba, Sidi. 1973. Sistematika Filsafat, Buku I. Jakarta : Bulan Bintang.

Hadi, P.Hardono. 1994. Epistemologi ; Filsafat Pengetahuan.Yogyakarta : Kanisius.

Mudyahardjo, Redja. 2006. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Pengantar Dasar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius.

Sudjana. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Suriasumantri, Jujun. S. 2005. Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

www.Ivan272’s.Blogspot.com. ”Struktur Ilmu dalam Filsafat Ilmu”. Diakses tanggal 20 Desember 2008.

www.sttip.com/modul%20filsafat%20ilmu%.pdf.”Filsafat Ilmu diambil dari Wismapandia. Diakses tanggal 20 Desember 2008.



[1]Suriasumantri, 1990, hal. 104-105.

[2]Suriasumantri, 1990, hal.35.

[3]Ibid, 1990, hal.120.

6Amsal, 2005, hal.54.

8Suriasumantri, hal.104.

9Ibid, hal.119.

10Suriasumantri, 1990, hal.123.

11Ibid,1990, hal.123.

12Suriasumantri,1987, hal.125.

13Suriasumantri,1990, hal.126-127.

14Suriasumantri, 1990, hal.128.

15Ibid, 1990, hal.128-130.

16Ibid, 1990, hal. 131.

17Suriasumantri, 1990, hal.132.

18Ibid, 1990, hal.132.

19Ibid, 1990, hal.132.

20Suriasumantri,1990, hal.134.